Jumat, 04 November 2011

KTT BUMI RIO DE JENEIRO

KTT BUMI RIO DE JENEIRO
by,  Troy Makatita 

BAB  I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang        
              Setelah bertahun-tahun sejak revolusi industri pertengahan abad ke-18, baru pada pertengahan abad ke-20 dunia mengalami kejutan yang merangsang kepedulian akan gawatnya masalah lingkungan yang kita hadapi. Akhirnya atas usul Pemerintah Swedia diselenggarakanlah   Konferensi Internasional PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia ( United Nations Conference on the Human Environment ) di Stockholm, Swedia tahun 1972, adalah konferensi yang sangat  bersejarah, karena merupakan konferensi pertama tentang lingkungan hidup.  Konferensi ini juga merupakan penentu langkah awal upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global.     
              Konferensi diselenggarakan dengan harapan untuk melindungi dan mengembangkan kepentingan dan aspirasi negara berkembang. Pertemuan yang digagas PBB ini menghasilkan Deklarasi Stockholm berupa Rencana Kerja, khususnya tentang perencanaan dan pengelolaan permukiman manusia serta rekomendasi kelembagaan United Nations Environmental Programme (UNEP), yang  markas besarnya ditetapkan di Nairobi, Kenya. Dalam konferensi ini Indonesia menyampaikan laporan / pandangan tentang lingkungan hidup dan pembangunan. Laporan ini merupakan hasil Seminar Nasional Lingkungan dan Pembangunan di Universitas Padjadjaran, Mei 1972 yang diselenggarakan atas prakarsa Prof. Soemarwoto ( Soerjani,1997 ).          
              Konferensi tingkat tinggi Lingkungan Hidup  pertama di dunia yang di ikuti oleh wakil dari 114 negara, dan menghasilkan deklarasi lingkungan hidup : Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (actionplan) dan Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang mendukung rencana aksi tersebut. Dalam konferensi Stockholm inilah  menyepakati pentingnya pemeliharaan lingkungan hidup melalui kesadaran dengan motto  “Hanya Ada Satu Bumi” (The Only One Earth ) untuk semua manusia, yang terdiri dari 109 rekomendasi dan deklarai mengenai 26 prinsip-prinsip lingkungan. Diperkenalkannya motto itu sekaligus menjadi mottokonferensi. Selain itu konferensi Stockholm, menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup sedunia  World Environmental Day (http://pin_impala.brawijaya.ac.id//earth summit.htm )
               Setelah Konferensi Stockholm, problematika lingkungan hidup tidaklah surut, bahkan semakin parah, ternyata banyak negara yang masih belum menjalankan kesepakatan, walaupun ikut menandatangani.Masalah lingkungan hidup terjadi karena perilaku manusia selama ini telah mengubah keteraturan alam. Alam tidak lagi sepenuhnya dapat berkompromi dengan kebutuhan manusia dalam melangsungkan kehidupannya, maka kenestapaan manusia dengan mudah dapat ditemui di banyak sudut muka bumi. Pengkajian yang dilaksanakan 10 tahun kemudian pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya,  justru menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan hidup semakin meningkat.  Isu yang mengemuka dalam dekade ini mencakup hujan asam, penipisan lapisan ozon, pemanasan global ( perubahan iklim ), perusakan hutan, pengguguran, pelestarian keaneka ragaman hayati, perdagangan internasional bahan-bahan berbahaya dan beracun  serta limbah, serta permasalahan mengenai perlindungan lingkungan pada saat konflik  bersenjata ( Sdede, Androniko, 1993 dalam Koesdiyo, Purwanto, 2007).
               Menginat kompleksitas permasalahan yang dihadapi maka beberapa perjanjian internasional pada periode ini lebih mengarah kepada tercapainya consensus global, yang mencakup “ Viena Convention for the Protection of the Ozone Layer, Viena 1985 “ dan “Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer, Montreal 1987 “,  yang bertujuan mereduksi dan mensubsitusi bahan-bahan perusak ozon dengan bahan lain serta ketentuan yang mengikat khususnya mengenai produksi dan penggunaan lima macam bahan kimia, CFC ( Chloro Fluoro Carbon  ). “The United Nations Convention on the Law og the Sea (UNCLOS) tahun 1982”,menetapkan pengaturan yang luas mengenai kelautan termasuk ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan lingkungan laut. Selain itu disepakati pula “Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hozardous Wastes and Disposal, Basel 1989, “ The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNICEF) 1992”, dan “ Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity /CBD) 1992”, tentang pelesterian keanekaragaman hayati.
              Menyadari semakin kompleksnya masalah lingkungan, perkembangan penting lain pada periode ini adalah pembentukan lembaga independen oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1983 membentuk  World Commission on Environment and Development (WCED), Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan,  yang diketuai oleh Ny. Gro Brundtland, Perdana Menteri Norwegia. Komisi ini menyelesaikan tugasnya pada 1987 dengan menerbitkan laporan “Our Common Future” yang dikenal dengan Laporan Brundtland. Tema laporan ini adalah Sustainable Development ( pembengunan berkelanjutan ). Komisi ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu upaya yang mendorong tercapainya kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan yang tinggi. Inilah underlying concept  pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini terus berkembang mengikuti dinamika perubahan.
              Dua puluh tahun setelah Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm, atau lima tahun setelah tebitnya Laporan Brundtland, PBB menyelenggarakan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi Khusus tentang Masalah lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal dengan KTT Bumi (Earth Summit) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Jargon “ Think globally, act locally “, yang menjadi tema KTT Bumi menjadi popular untuk mengekspresikan kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan. KTT Bumi menekankan pentingnya semangat kebersamaan ( multilaterisme ) untuk mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh benturan antara upaya-upaya melasanakaqn pembangunan ( oleh developmentalist ) dan upaya-upaya melestarikan lingkungan ( oleh environmentalist ).

Selasa, 01 November 2011

Pentingkah AMDAL di Kupang - NTT??????????

oleh.Troy Makatita
Mungkin teman-teman sekalian sudah sering sekali mendengar istilah AMDAL, bahkan tahu bahwa istilah ini merupakan singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Namun, tahukah teman-teman usaha/kegiatan apa saja yang diwajibkan untuk menyusun AMDAL? Siapa saja pihak-pihak yang terkait dalam penyusunan AMDAL? Dan bagaimana prosedur pengajuan AMDAL? Bagi yang belum tahu mungkin ulasan di bawah ini bisa membantu.

Apa yang dimaksud dengan AMDAL?

Berdasarkan PP no. 27 tahun 1999, definisi AMDAL ialah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dokumen AMDAL terdiri dari beberapa bagian:
  1. Dokumen kerangka acuan analisis dampak lingkungan (KA-ANDAL)
  2. Dokumen analisis dampak lingkungan
  3. Dokumen rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL)
  4. Dokumen rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL)

Siapa pihak-pihak terkait dalam penyusunan AMDAL?

  1. Pemrakarsa
    Orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha/kegiatan yang akan dilaksanakan. Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL harus telah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan ahli di bidangnya.
  2. Komisi penilai
    Komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL.
  3. Masyarakat yang berkepentingan
    Masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan seperti kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.

Bagaimana prosedur AMDAL?

Prosedur AMDAL terdiri dari 4 tahapan, yaitu:
  1. Penapisan (screening) wajib AMDAL
    Menentukan apakah suatu rencana usaha/kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak. Berdasarkan Kepmen LH no 17 tahun 2001, terdapat beberapa rencana usaha dan bidang kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL, yaitu: pertahanan dan keamanan, pertanian, perikanan, kehutanan, kesehatan, perhubungan, teknologi satelit, perindustrian, prasarana wilayah, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, pengembangan nuklir, pengelolaan limbah B3, dan rekayasa genetika. Kegiatan yang tidak tercantum dalam daftar wajib AMDAL, tetapi lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan lindung, termasuk dalam kategori menimbulkan dampak penting, dan wajib menyusun AMDAL. Kawasan lindung yang dimaksud adalah hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, kawasan sekitar waduk/danau, kawasan sekitar mata air, kawasan suaka alam, dan lain sebagainya.
  2. Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
    Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.
  3. Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL
    Penyusunan KA-ANDAL adalah proses untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi ANDAL (proses pelingkupan). Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya. Apabila dalam 75 hari komisi penilai tidak menerbitkan hasil penilaian, maka komisi penilai dianggap telah menerima kerangka acuan.
  4. Peyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL
    Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL). Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

Bagaimana jika usaha/kegiatan tidak diwajibkan menyusun AMDAL?

Usaha/kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL). UKL dan UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan izin. melakukan usaha dan atau kegiatan.

Bagaimana Dengan NTT Khusunya...Kota Kupang ??????


Yang menjadi Pertanyaan saya Bagaimana Dengan Kupang - NTT.......Pembangunan Sejumlah Hotel yang persis berada pada jalur Hijau dan Pessis Terletak Pada Bibir Pantai ....apakah  Pantas dan mengacu pada Lingkungan dan apakah sudah dilengkapi dengan AMDAL.......?????????
Anehnya negeri ini....................????????????



Senin, 31 Oktober 2011

NTT - Berjudi dengan Mangan

Oleh. Troy Makatita

Sebuah perjudian besar tengah terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Potensi mangan yang terkandung dalam perut bumi NTT berpotensi mendatangkan kenikmatan jangka pendek tapi bisa berbuah kesengsaraan jangka panjang yang menjurus permanen bagi rakyat setempat. Karena itu, pemerintah provinsi dan kabupaten di NTT perlu menata ulang dan melakukan kajian yang sangat mendalam sebelum memutuskan untuk melakukan eksploitasi mangan.

Berbagai suara kritis tentang dampak buruk pertambangan patut didengar agar NTT tidak terus menerus diplesetkan sebagai daerah yang punya “Nasib Tidak Tentu”,  sehingga hanya bisa pasrah dan berharap “Nanti Tuhan Tolong”. Para penentu kebijakan harus satu bahasa mau dibawa ke mana potensi tambang mangan NTT yang katanya potensial dan berkualitas.

Fakta hari ini semua pakar lingkungan hidup dunia sepakat bahwa hampir semua pertambangan yang dipraktekkan di dunia merupakan kutukan yang berkelanjutan bagi masyarakat luas.  Dari sisi lingkungan hidup, kegiatan pertambangan dengan teknologi secanggih apa pun tetap menyisakan kerusakan lingkungan yang perlu waktu berabad-abad untuk pulih.

Dari sisi ekonomi, pertambangan hanya memperkaya segelintir orang tapi menyengsarakan begitu banyak orang, termasuk warga sekitar tambang. Contoh nyata bisa dilihat di Bangka-Belitung dan Papua. Potensi tambang dua daerah ini sudah puluhan tahun dieksploitasi habis-habisan, tapi rakyat kedua daerah tidak kunjung sejahtera. Hingga hari ini kemiskinan masih menjadi sahabat karib mayoritas masyarakat  di sana.

Sejumlah literatur pun dengan tegas menyebutkan bahwa tidak ada satu pun masyarakat di daerah pertambangan di dunia ini yang menjadi lebih sejahtera setelah potensi tambang daerah mereka dieksploitasi. Masyarakat sekitar tambang umumnya tetap miskin. Yang kaya dan menikmati hanya segelintir orang, yang ironisnya adalah mereka yang bukan penduduk setempat. Bahkan dalam kasus Indonesia, yang lebih banyak menikmati justru  bangsa lain. Sungguh menyedihkan.

Lebih parah lagi, di tengah kemiskinan tersebut masyarakat sekitar tambang  masih mendapat “warisan” berupa lahan rusak bekas tambang yang semula bisa saja merupakan lahan perkebunan dan pertanian, serta kawasan hutan.

Dalam jangka panjang, pertambangan adalah penyumbang terbesar lahan sangat kritis yang susah dikembalikan lagi sesuai fungsi awalnya. Terjadi pula pencemaran baik tanah, air maupun udara. Belum lagi ancaman terjadinya banjir, longsor, dan lenyapnya sebagian keanekaragaman hayati. Dengan kondisi seperti ini jelas kemiskinan akan menjadi permanen di daerah bekas tambang.

Semua fakta itu harus menjadi bahan kajian bagi pemerintah dan masyarakat  NTT sebelum menjadikan mangan sebagai komoditas unggulan. Apalagi hasil sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh sebuah  LSM di Belu, NTT  baru-baru ini, menyebutkan bahwa pertambangan mangan di NTT hanya mempunyai  empat poin positif sementara yang negatif mencapai 23 poin. Secara umum hasil FGD ini selaras dengan literatur soal dampak pertambangan  yang ada selama ini.

Kita melihat bahwa sejauh ini penanganan potensi mangan di NTT dilakukan secara serampangan. Mangan yang tersebar di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, dan Manggarai dieksploitasi tanpa ada standar lingkungan sama sekali. Jangan bicara amdal, karena perusahaan-perusahaan  yang punya izin tambang pun hanya asal gali tanpa memikirkan dampak terhadap lingkungan. 

Pemerintah provinsi dan daerah terkesan tutup mata dengan pola penambangan yang tidak memperdulikan kelestarian lingkungan itu. Tak perlu heran bila aksi tambang secara ilegal menjadi pemandangan sehari-hari. Rakyat seolah difasilitasi untuk menggali mangan secara liar dan meninggalkan kegiatan bertani dan beternak yang selama ini menjadi sandaran hidup mereka. Rakyat dibiarkan terbuai dengan kenikmatan sesaat dengan menjual mangan seharga Rp 400 per kilogram.

Semua itu terjadi karena pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten di NTT belum satu bahasa soal mangan. Hal ini terlihat jelas dari munculnya perda-perda yang saling bertentangan satu sama lain. Ada yang melarang, ada pula yang mengizinkan penambangan mangan. Ketidaktegasan pemerintah provinsi membuat masing-masing daerah mengambil sikap sendiri-sendiri. 

Pemerintah beberapa kali sempat menyatakan dukungannya terhadap pertambangan mangan yang ramah lingkungan, tapi seperti apa ramahnya tidak jelas pada tataran implementasi. Yang pasti, laporan dari lapangan menyebutkan korban mangan terus berjatuhan. Jumlah yang tewas ditimbun galian, baik yang resmi tercatat maupun tidak, terus bertambah. Kubangan-kubangan bekas galian mangan makin banyak menghiasi lahan-lahan pertanian dan peternakan di daratan Timor.  

Sebelum terlambat, benahilah penambangan mangan ini. Jangan berjudi dengan mangan. Bila jelas-jelas lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya, lebih baik stop total penambangan mangan di NTT. Masih banyak potensi alam yang bisa didayagunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Karena itu, sebaiknya NTT  fokus pada potensi yang lebih menjanjikan  kelestarian alam. Niat menjadikan NTT sebagai provinsi ternak, misalnya, patut ditindaklanjuti dengan program-program konkret di lapangan. Merelakan peternak beralih menjadi penggali batu mangan dan membiarkan lahan pengembalaan ternak berubah menjadi kubangan bekas galian, jelas bertentangan dengan semangat menjadikan NTT sebagai gudang ternak nasional.