Mahasiswa program sarjana, magister, dan doktor tetap harus membuat karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Setiap program studi bisa membuat jurnal, dan jika tidak tertampung, karya ilmiah tersebut bisa dimuat di jurnal online.
Oleh : Mochammad fadjar
Bayangkan, Indonesia yang sebesar ini hanya punya 121 jurnal yang terakreditasi Ditjen Dikti. Kalau dibiarkan saja, kita akan semakin tertinggal dari negara lain
-- Mendikbud M Nuh
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso, Senin (6/2), menjelaskan, karya ilmiah mahasiswa bisa dipublikasikan di jurnal ilmiah apa pun, baik yang diterbitkan oleh kampus maupun instansi lain.
Djoko juga memperbolehkan pembuatan jurnal online sebagai alternatif lain. ”Saya akan membuat petunjuk pembuatan jurnal online. Tugas kontrolnya ada di dosen, dewan redaksi, dan editor. Karena online, semua bisa ikut mengawasi,” kata Djoko.
Karya ilmiah yang dimaksud, kata Djoko, bisa berupa skripsi atau karya tulisan yang sudah dipersiapkan sejak awal untuk dimasukkan ke jurnal ilmiah. Bentuk karya ilmiah bisa beragam, mulai dari skripsi hingga laporan praktikum.
”Apa pun bentuknya, kualitas lulusan perguruan tinggi harus ditingkatkan. Salah satu caranya dengan memperbaiki kemampuan menulis sesuai dengan standar akademik,” kata Djoko.
Seperti diberitakan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemdikbud mewajibkan mahasiswa program sarjana, magister, dan doktor memuat karya ilmiah dalam jurnal untuk kelulusan setelah Agustus 2012. Karya ilmiah untuk program sarjana dimuat di jurnal ilmiah minimal kampus, magister harus dimuat dalam jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi Dikti, sedangkan program doktor di jurnal internasional.
Produk rendah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menjelaskan, produktivitas jurnal ilmiah di Indonesia sangat rendah. ”Bayangkan, Indonesia yang sebesar ini hanya punya 121 jurnal yang terakreditasi Ditjen Dikti. Kalau dibiarkan saja, kita akan semakin tertinggal dari negara lain,” ujarnya.
Data dari Scimagojr, Journal and Country Rank tahun 2011 menunjukkan selama kurun 1996-2010 Indonesia telah memiliki 13.047 jurnal ilmiah. Dari 236 negara yang di-ranking, Indonesia berada di posisi ke-64. Sementara Malaysia telah memiliki 55.211 jurnal ilmiah dan Thailand 58.931 jurnal ilmiah.
Bagi Nuh, yang penting saat ini adalah menumbuhkan budaya menulis mahasiswa untuk menambah kuantitas karya ilmiah di jurnal ilmiah. Sementara untuk kualitas akan diperbaiki dengan memberikan pelatihan menulis ilmiah dan pendampingan bagi editor.
”Logikanya, anak yang kuliah 4 tahun masak tak bisa menulis. Kalau kurang jurnalnya, ditambah saja. Saya akan memilih kuantitas dulu. Bagaimana mau berkualitas kalau karyanya saja tidak ada. Yang penting, karya ilmiah ada saja dulu,” kata Nuh.
Ia menilai setiap mahasiswa pasti menghasilkan produk tulisan, apakah itu skripsi, tugas akhir, ataupun laporan magang. ”Tidak ada yang sulit. Tidak perlu khawatir, 3-6 halaman itu cukup. Kenapa khawatir? Karena kita belum terbiasa,” kata Nuh.
Harus bertahap
Rektor Universitas Haluoleo (Unhalu) Kendari Usman Rianse menilai kebijakan tersebut semestinya dilakukan secara bertahap untuk program doktor dan magister, serta untuk 10 perguruan tinggi terbaik dulu di Tanah Air.
”Bagi beberapa perguruan tinggi luar Jawa, perlu diberikan pelatihan terlebih dahulu dalam penulisan di jurnal dan pengelolaan jurnal,” kata Usman.
Jika langsung diberlakukan, ia khawatir terjadi kekacauan dalam pengelolaan jurnal sehingga banyak mahasiswa yang terlambat lulus menjadi sarjana. ”Banyak jurnal di kampus yang sudah tidak beroperasi,” katanya.
Arif Satria, Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, mengatakan, kebijakan tersebut semestinya untuk program doktor dan magister lebih dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar