KTT BUMI RIO DE JENEIRO
by, Troy Makatita
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Setelah bertahun-tahun sejak revolusi industri pertengahan abad ke-18, baru pada pertengahan abad ke-20 dunia mengalami kejutan yang merangsang kepedulian akan gawatnya masalah lingkungan yang kita hadapi. Akhirnya atas usul Pemerintah Swedia diselenggarakanlah Konferensi Internasional PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia ( United Nations Conference on the Human Environment ) di Stockholm, Swedia tahun 1972, adalah konferensi yang sangat bersejarah, karena merupakan konferensi pertama tentang lingkungan hidup. Konferensi ini juga merupakan penentu langkah awal upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global.
Konferensi diselenggarakan dengan harapan untuk melindungi dan mengembangkan kepentingan dan aspirasi negara berkembang. Pertemuan yang digagas PBB ini menghasilkan Deklarasi Stockholm berupa Rencana Kerja, khususnya tentang perencanaan dan pengelolaan permukiman manusia serta rekomendasi kelembagaan United Nations Environmental Programme (UNEP), yang markas besarnya ditetapkan di Nairobi, Kenya. Dalam konferensi ini Indonesia menyampaikan laporan / pandangan tentang lingkungan hidup dan pembangunan. Laporan ini merupakan hasil Seminar Nasional Lingkungan dan Pembangunan di Universitas Padjadjaran, Mei 1972 yang diselenggarakan atas prakarsa Prof. Soemarwoto ( Soerjani,1997 ).
Konferensi tingkat tinggi Lingkungan Hidup pertama di dunia yang di ikuti oleh wakil dari 114 negara, dan menghasilkan deklarasi lingkungan hidup : Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (actionplan) dan Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang mendukung rencana aksi tersebut. Dalam konferensi Stockholm inilah menyepakati pentingnya pemeliharaan lingkungan hidup melalui kesadaran dengan motto “Hanya Ada Satu Bumi” (The Only One Earth ) untuk semua manusia, yang terdiri dari 109 rekomendasi dan deklarai mengenai 26 prinsip-prinsip lingkungan. Diperkenalkannya motto itu sekaligus menjadi mottokonferensi. Selain itu konferensi Stockholm, menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup sedunia World Environmental Day (http://pin_impala.brawijaya.ac.id//earth summit.htm )
Setelah Konferensi Stockholm, problematika lingkungan hidup tidaklah surut, bahkan semakin parah, ternyata banyak negara yang masih belum menjalankan kesepakatan, walaupun ikut menandatangani.Masalah lingkungan hidup terjadi karena perilaku manusia selama ini telah mengubah keteraturan alam. Alam tidak lagi sepenuhnya dapat berkompromi dengan kebutuhan manusia dalam melangsungkan kehidupannya, maka kenestapaan manusia dengan mudah dapat ditemui di banyak sudut muka bumi. Pengkajian yang dilaksanakan 10 tahun kemudian pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya, justru menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan hidup semakin meningkat. Isu yang mengemuka dalam dekade ini mencakup hujan asam, penipisan lapisan ozon, pemanasan global ( perubahan iklim ), perusakan hutan, pengguguran, pelestarian keaneka ragaman hayati, perdagangan internasional bahan-bahan berbahaya dan beracun serta limbah, serta permasalahan mengenai perlindungan lingkungan pada saat konflik bersenjata ( Sdede, Androniko, 1993 dalam Koesdiyo, Purwanto, 2007).
Menginat kompleksitas permasalahan yang dihadapi maka beberapa perjanjian internasional pada periode ini lebih mengarah kepada tercapainya consensus global, yang mencakup “ Viena Convention for the Protection of the Ozone Layer, Viena 1985 “ dan “Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer, Montreal 1987 “, yang bertujuan mereduksi dan mensubsitusi bahan-bahan perusak ozon dengan bahan lain serta ketentuan yang mengikat khususnya mengenai produksi dan penggunaan lima macam bahan kimia, CFC ( Chloro Fluoro Carbon ). “The United Nations Convention on the Law og the Sea (UNCLOS) tahun 1982”,menetapkan pengaturan yang luas mengenai kelautan termasuk ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan lingkungan laut. Selain itu disepakati pula “Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hozardous Wastes and Disposal, Basel 1989, “ The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNICEF) 1992”, dan “ Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity /CBD) 1992”, tentang pelesterian keanekaragaman hayati.
Menyadari semakin kompleksnya masalah lingkungan, perkembangan penting lain pada periode ini adalah pembentukan lembaga independen oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1983 membentuk World Commission on Environment and Development (WCED), Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan, yang diketuai oleh Ny. Gro Brundtland, Perdana Menteri Norwegia. Komisi ini menyelesaikan tugasnya pada 1987 dengan menerbitkan laporan “Our Common Future” yang dikenal dengan Laporan Brundtland. Tema laporan ini adalah Sustainable Development ( pembengunan berkelanjutan ). Komisi ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu upaya yang mendorong tercapainya kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan yang tinggi. Inilah underlying concept pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini terus berkembang mengikuti dinamika perubahan.
Dua puluh tahun setelah Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm, atau lima tahun setelah tebitnya Laporan Brundtland, PBB menyelenggarakan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi Khusus tentang Masalah lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal dengan KTT Bumi (Earth Summit) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Jargon “ Think globally, act locally “, yang menjadi tema KTT Bumi menjadi popular untuk mengekspresikan kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan. KTT Bumi menekankan pentingnya semangat kebersamaan ( multilaterisme ) untuk mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh benturan antara upaya-upaya melasanakaqn pembangunan ( oleh developmentalist ) dan upaya-upaya melestarikan lingkungan ( oleh environmentalist ).