Baru-baru ini mulai lagi terungkap adanya penemuan limbah B3 yang diimpor dari Inggris dan Belanda di Pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Sekitar 113 kontainer berisi limbah dan sampah Bahan Berbahaya Beracun (B3) diterima dengan baik oleh oknum pengusaha negeri ini. Sebenarnya, kasus ini bukanlah hal yang baru, ternyata telah berlangsung sejak lebih dari dua dekade kebelakang.
Bahaya limbah B3 sudah tidak diragukan lagi. Potensi terpapar pada masyarakat dan lingkungan pasti akan terjadi, karena lama-kelamaan akan terurai melalui air, tanah, dan udara.
Peraturan tentang larangan memasukkan limbah dan sampah B3 ke wilayah Indonesia sudah jelas diatur dalam UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai dasar hukum; ditunjang oleh peraturan lainnya seperti : UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, PP No.18/1999 Jo. PP No.85/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, PP No.74/2001 tentang Pengelolaan B3, dan lain-lain. Namun, walaupun sederet peraturan mengenai B3 dengan ancaman pidana penjara 5-15 tahun dan denda 5-15 milyar tidak dapat mengurungkan niat pelaku untuk tetap mengimpor limbah B3.
Bahaya limbah B3 sudah tidak diragukan lagi. Potensi terpapar pada masyarakat dan lingkungan pasti akan terjadi, karena lama-kelamaan akan terurai melalui air, tanah, dan udara.
Peraturan tentang larangan memasukkan limbah dan sampah B3 ke wilayah Indonesia sudah jelas diatur dalam UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai dasar hukum; ditunjang oleh peraturan lainnya seperti : UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, PP No.18/1999 Jo. PP No.85/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, PP No.74/2001 tentang Pengelolaan B3, dan lain-lain. Namun, walaupun sederet peraturan mengenai B3 dengan ancaman pidana penjara 5-15 tahun dan denda 5-15 milyar tidak dapat mengurungkan niat pelaku untuk tetap mengimpor limbah B3.
Kegiatan ekspor impor limbah B3 secara internasional merupakan kegiatan yang terlarang, dengan diberlakukannya Ban Amandment, yaitu pelarangan ekspor limbah B3 dari Negara maju ke Negara berkembang yang tidak memiliki kapasitas pengelolaan limbah, melalui konvensi Baselo (yang ditandatangani di Kota Basel Swiss pada 22 Maret 1989) isinya tentang Pengaturan Perpindahan Lintas Batas dan Pembuangan Limbah Berbahaya (Basel Convention on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal). Indonesia, bersama 170 negara anggota lainnya telah ikut meratifikasi Amandemen Konvensi Basel melalui Keppres No.61/1993 Tentang Pengesahan Amendment To The Basel Convention On The Control Of Transboundary Movements Of Hazardous Wastes And Their Disposal (Amendemen Atas Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya). Dengan meratifikasi Ban Amandemen Konvensi Basel maka Indonesia berhak untuk menolak kiriman barang yang berbahaya dan beracun serta juga tidak bisa mengirim barang berbahaya dan beracun dari negara anggota maupun non-anggota.
Seiring dangan pesatnya kemajuan teknologi, menyebabkan meningkatnya limbah B3 yang dihasilkan terutama di negara-negara maju. Penanganan limbah ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, misalnya saja Amerika Serikat, sebagai penghasil limbah B3 terbesar di dunia, yaitu mencapai 264 juta ton setiap tahunnya, terdiri atas residu logam berat dan senyawa organik. Untuk membersihkan 2.000-10.000 tempat limbah, Amerika Serikat mengeluarkan dana 20-100 milyar dollar.
Mahalnya biaya pengelolaan limbah B3 ini mendorong negara-negara maju/kapitalis tersebut untuk membuang limbah-limbah B3 mereka ke negara yang lebih miskin, karena itu cara yang paling murah. Akibatnya, negara-negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia menjadi tempat sampah limbah B3 negara kapitalis.
Kondisi tersebut diperparah dengan rendahnya keseriusan Pemerintah dalam memperhatikan pengelolaan limbah B3, hal ini dicirikan dengan masih banyak limbah impor yang masuk ke Indonesia. Selain itu, budaya masyarakat yang masih suka mengkonsumsi barang “second hand” dari luar negeri, yang mungkin saja sudah terpapar limbah B3. Untuk itu, perlu ketegasan peraturan, mana katagori barang bekas dan mana katagori barang limbah.
Apakah sudah tidak ada lagi hati nurani dari oknum masyarakat ini, sehingga tega-teganya mencemari negaranya sendiri? Ataukah ancaman hukuman di atas dinilai “kecil” oleh para pelaku, mengingat jumlah rupiah yang diterima tentu saja jauh lebih besar? Jawabannya sudah kita ketahui bersama, dan jarang sekali kasus-kasus impor limbah B3 ini sampai ke pengadilan, hanya sebatas diusut dan disidik. Walaupun sampai, hukumannya tidak berazaskan keadilan. Perlu kesungguhan pemerintah dalam menangani masalah impor limbah B3 ini, supaya masa depan negeri ini tidak menjadi negeri tempat sampah. Implementasi dari UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup harus dilakukan secara serius, konsekwen, dan konsisten.
Sumber : Metro TVnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar