makalah tentang sabu (bahan kuliah mk. inventarisasi SDA, ipsal, Undana)
Strategi Pembangunan Pulau Sabu Dalam Perspektif Ekologi
Oleh
Ludji Michael Riwu Kaho
(disampaikan dalam pertemuan Permasa di Kupang, Mei 2005)
Ludji Michael Riwu Kaho
(disampaikan dalam pertemuan Permasa di Kupang, Mei 2005)
Jika orang membuka peta Indonesia pada skala 1: 13.000.000 atau lebih maka hampir dapat dipastikan Pulau Sabu tidak ditemukan di sana. Penyebab satu hal saja, Pulau Sabu berukuran sangat kecil. Bahkan, bukan saja sangat kecil tetapi juga sangat terisolir. Keadaan ini tidak harus dijadikan alasan untuk bermuram durja. Sebaliknya, harus dijadikan tantangan untuk mengatasi kompleks permasalahan yang terjadi akibat situasi demikian.
Isolasi dan ukuran lingkungan adalah suatu istilah yang berkaitan dengan teori pulau biogeografi, yaitu suatu wilayah yang merupakan habitat suatu jenis organisme (Soemarwoto, 1992; Smith dan Smith, 2000). Pulau Biogeografi dapat berupa sebuah pulau di tengah lautan, atau dapat pula sebuah habitat di tengah suatu wilayah tetapi memiliki sifat yang berlainan dengan rata-rata umum. Teori ini mengamanatkan bahwa stabilitas suatu habitat (pulau) ditentukan oleh keanekaragaman pulau itu sendiri. Makin tingi keanekaragaman, maknin tinggi pula stabilitas ekosistemnya dan sebaliknya. Tingkat keanekaragaman pulau sendiri pada dasarnya ditentukan oleh dua hal, yaitu luas pulau dan jarak pulau dengan pulau besar yang merupakan sumber bagi keanekaragaman. Bentuk dan letak geografis Pulau Sabu tampaknya tidak memenuhi persyaratan habitat yang stabil. Smith dan Smith memperkirakan tentang ukuran minimal pulau yang stabil, yaitu seukuran pulau Benua (> 50.000 km2) dan jarak dari pulau sumber sekitar 2 – 5 km.
Stabilitas suatu ekosistem pada dasarnya tunduk kepada bunyi hukum I dan II Thermodinamika yang secara sangat sederhana berbunyi bahwa energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan hanya dapat dialih bentukkan (Hk. I) serta sistem yang terisolir dari sumber energi akan mengalami kerusakan (entropi) yang meningkat (Hk. II) (McNaughton dan Wolf, 1990; Smith dan Smith, 2000).
Posisi geografis Pulau Sabu yang terisolir mendekatkan ekosistem Pulau Sabu kepada kondisi yang diamanatkan oleh bunyi hukum II thermodinamika di atas. Dengan demikian Pulau Sabu telah dan akan selalu diperhadapkan dengan permasalahan lingkungan yang terjadi secara alami, karena keterisoliran wilayahnya. Dampak dari fenomena ini mudah terlihat pada kasus ketergantungan suplai energi BBM dari daerah lain di sekitarnya. Tanpa pasokan BBM atau bahan pokok yang kontinyu dari Kupang, penduduk Pulau Sabu akan sangat menderita.
Untuk memudahkan memahami makna keanekaragaman adalah ilustrasi berikut ini: suatu tim sepakbola yang baik harus terdiri atas 11 orang dengan fungsi masing-masing. Ada 1 penjaga gawang, serta beberapa pemain lainnya yang berfungsi sebagai pemain bertahan, pemain tengah dan penyerang. Tim seperti ini disebut tim dengan keaanekaragaman yang tinggi. Jika 11 orang tersebut adalah penjaga gawang semua atau penyerang semua maka walaupun jumlah tim ini lengkap tetapi tim ini disebut berkeanekaragaman yang rendah dan sulit untuk menang karena hanya satu fungsi saja yang berjalan. Lebih celaka lagi jika tim sepak bola tersebut terkena kartu merah dan 6 orang pemainnya harus keluar lapangan. Tinggal 5 orang di lapangan. Maka sudah pasti yang terjadi adalah jumlah pemain berkurang, posisi pemain juga berkurang. Tim ini dapat dikatakan memiliki keanekaragaman yang rendah dan mungkin jelek. Tim ini sangat mudah untuk dikalahkan.
Secara alami keanekaragam hayati ditentukan oleh dua hal, yaitu ukuran pulau dan jarak pulau dari pula lain sebagai sumber keanekaragaman. Jadi, keanekaragaman pada dasarnya merupakan konsekuensi dari teori pulau biogeografi. Pulau yang kecil dan terisolir akan memiliki tingkat keanekaragaaman yang rendah. Sebaliknya pulau yang kecil dan terisolir akan memiliki fenomena endemisme yang tinggi, yaitu adanya jenis-jenis spesifik yang hanya hidup di habitat tertentu. Di luar habitatnya, jenis tersebut tidak ditemukan. Misalnya, komodo di Pulau Komodo. Di luar komodo hanya dijumpai di dalam kandang di kebun binatang. Dalam banyak kasus di savana Afrika yang bersifat pulau, kepunahan jenis endemik berkorelasi postif dengan proses kepunahan seluruh ekosistem tersebut (Ewusie, 1990). Karena itu penurunan populasi flora dan fauna, misalnya penurunan populasi tuak (Borassus flabelifer) atau penyu sisik ((Eretmochelys imbricata) yang dikonsumsi masyarakat Sabu boleh dipahami bahayanya hanya dari konteks keamanan pangan melainkan juga stabilitasi ekosistem pulau Sabu dalam skala yang lebih luas.
Selain faktor utama di atas, maka faktor lain yang menjadi ko-faktor pendukung keanekaragaman adalah faktor-faktor klimatik dan edafik. Iklim Sabu tampaknya ditandai oleh tipe iklim kering dengan curah hujan tahun berkisar antara 1000 – 1200 mm/tahun. Dengan suhu rata-rata 30.5 0C dan lama penyinaran sampai 11.5 jam per hari maka evporasi dan pengoksidasian tanah merupakan fenomena normal. Robert Riwu Kaho (2000) mencatat bahwa di bagian utara Pulau Sabu tanah lebih basah dan terdapat beberapa sumber mata air yang besar tetapi di bagian selatan Pulau Sabu tidak. Namun demikian, keadaan tanah secara umum ditandai oleh tanah-tanah berkapur (kartz) yang sulit menyimpan air dan berbukit-bukit yang memudahkan erosi. Ketinggian (altitude) tertinggi sekitar 250-500 m dpl yang menyebabkan tidak ada sumber hujan yang terjadi secar orografis. Singkat kata kondisi klimatik dan edafik Pulau Sabu kurang kondusif bagi perkembangan ekosistem yang stabil. Schimdt dan Schmidt (2000) memperingatkan bahwa perilaku wilderness merupakan fenomena integral dalam perilaku organisme endemik.
Secara ekologis, masalah keterisoliran ekologi dapat diatasi dengan jalan meningkatkan arus informasi dan meningkatkan daya dukung lingkungan. Oleh karena itu, strtegi eklogi yang biasanya dimiliki oleh organisme ketika menghadapi cekaman lingkuhngan perlu ditiru, yaitu teknik menghindar (avoidance), ameliorasi (meelakukan pengubahsuaian) dan adapatasi. Dengan memperhatikan kondisi ekologi di atas maka beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam membangun Pulau Sabu, yaitu :
1. Membangun dalam pola pemberdayaan masyarakat secara mandiri (community-based-development-program). Dalam pola ini maka ketahanan masyarakat terhadap berbagai pola perubahan lingkungan dapat ditingkatkan. Untuk itu, revitalisasi dan reaktualisasi kearifan lokal perlu diupayakan. Pola ini merupakan implimentasi prinsip adaptasi karena semua kearifan lokal pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang terbentuk dalam jangka waktu yang sangat lama dan hal itu menunjukkan potensi daya adaptasi.
2. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengunaan sumberdaya alam. Dalam kerangka ini maka pola-pola rehabilitasi, konservasi, daur ulang, budidaya terhadap sumber-sumberdaya potensial dan pendidikan bagi pengguna (user) perlu dikerjakan. Pola ini merupakan implimentasi prinsip penghindaran.
3. Open communication berupa teknik CIS (creativity, integrity dan sustainability) merupakan pilihan rasional. Filosofi dalam sistem ini adalah keterbukaan. Termasuk dalam cara ini adalah perbaikan terhadap infrastruktur seperti pelabuhan laut, lapangan udara, jalan-jalan yang menembus daerah-daerah sulit, sarana komunikasi seperti radio, telefon dan lain-lain. Pengembangan sektor pariwisata juga merupakan salah satu bentuk imlementasi sistem ini. Satu usulan yang terkait dengan model CIS adalah pemberdayaan sumber-sumber kapital yang berasal dari orang Sabu yang tidak tinggal di Sabu dan bersebaran dimana-mana. Pola ini merupakan implimentasi prinsip gabungan antara ameliorasi dan adaptasi.
Ewusie, Y.J. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Ganesha ITB, Bandung
McNaughton, S.J., dan L.L. Wolf. 1990. Ekologi Umum. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.
Riwu Kaho, R. 2000. Orang Sabu dan Budayanya. GMIT, Kupang
Smith, R.L., and T.M. Smith. 2000. Elements of Ecology. Community Science Publising, San Fransisco, CA.
Soemarwoto, O. 1992. Indonesia dalam Kancah Isu-Isu Lingkungan Global. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Pulau Sabu dalam Perspektif Konsep Pulau Biogeogafi
Isolasi dan ukuran lingkungan adalah suatu istilah yang berkaitan dengan teori pulau biogeografi, yaitu suatu wilayah yang merupakan habitat suatu jenis organisme (Soemarwoto, 1992; Smith dan Smith, 2000). Pulau Biogeografi dapat berupa sebuah pulau di tengah lautan, atau dapat pula sebuah habitat di tengah suatu wilayah tetapi memiliki sifat yang berlainan dengan rata-rata umum. Teori ini mengamanatkan bahwa stabilitas suatu habitat (pulau) ditentukan oleh keanekaragaman pulau itu sendiri. Makin tingi keanekaragaman, maknin tinggi pula stabilitas ekosistemnya dan sebaliknya. Tingkat keanekaragaman pulau sendiri pada dasarnya ditentukan oleh dua hal, yaitu luas pulau dan jarak pulau dengan pulau besar yang merupakan sumber bagi keanekaragaman. Bentuk dan letak geografis Pulau Sabu tampaknya tidak memenuhi persyaratan habitat yang stabil. Smith dan Smith memperkirakan tentang ukuran minimal pulau yang stabil, yaitu seukuran pulau Benua (> 50.000 km2) dan jarak dari pulau sumber sekitar 2 – 5 km.
Pulau Sabu dalam Perspektif hukum dasar Ilmu Lingkungan
Stabilitas suatu ekosistem pada dasarnya tunduk kepada bunyi hukum I dan II Thermodinamika yang secara sangat sederhana berbunyi bahwa energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan hanya dapat dialih bentukkan (Hk. I) serta sistem yang terisolir dari sumber energi akan mengalami kerusakan (entropi) yang meningkat (Hk. II) (McNaughton dan Wolf, 1990; Smith dan Smith, 2000).
Posisi geografis Pulau Sabu yang terisolir mendekatkan ekosistem Pulau Sabu kepada kondisi yang diamanatkan oleh bunyi hukum II thermodinamika di atas. Dengan demikian Pulau Sabu telah dan akan selalu diperhadapkan dengan permasalahan lingkungan yang terjadi secara alami, karena keterisoliran wilayahnya. Dampak dari fenomena ini mudah terlihat pada kasus ketergantungan suplai energi BBM dari daerah lain di sekitarnya. Tanpa pasokan BBM atau bahan pokok yang kontinyu dari Kupang, penduduk Pulau Sabu akan sangat menderita.
Pulau Sabu dalam Perspektif Keanekaragaman Ekologi dan Konsep Endemisme
Untuk memudahkan memahami makna keanekaragaman adalah ilustrasi berikut ini: suatu tim sepakbola yang baik harus terdiri atas 11 orang dengan fungsi masing-masing. Ada 1 penjaga gawang, serta beberapa pemain lainnya yang berfungsi sebagai pemain bertahan, pemain tengah dan penyerang. Tim seperti ini disebut tim dengan keaanekaragaman yang tinggi. Jika 11 orang tersebut adalah penjaga gawang semua atau penyerang semua maka walaupun jumlah tim ini lengkap tetapi tim ini disebut berkeanekaragaman yang rendah dan sulit untuk menang karena hanya satu fungsi saja yang berjalan. Lebih celaka lagi jika tim sepak bola tersebut terkena kartu merah dan 6 orang pemainnya harus keluar lapangan. Tinggal 5 orang di lapangan. Maka sudah pasti yang terjadi adalah jumlah pemain berkurang, posisi pemain juga berkurang. Tim ini dapat dikatakan memiliki keanekaragaman yang rendah dan mungkin jelek. Tim ini sangat mudah untuk dikalahkan.
Secara alami keanekaragam hayati ditentukan oleh dua hal, yaitu ukuran pulau dan jarak pulau dari pula lain sebagai sumber keanekaragaman. Jadi, keanekaragaman pada dasarnya merupakan konsekuensi dari teori pulau biogeografi. Pulau yang kecil dan terisolir akan memiliki tingkat keanekaragaaman yang rendah. Sebaliknya pulau yang kecil dan terisolir akan memiliki fenomena endemisme yang tinggi, yaitu adanya jenis-jenis spesifik yang hanya hidup di habitat tertentu. Di luar habitatnya, jenis tersebut tidak ditemukan. Misalnya, komodo di Pulau Komodo. Di luar komodo hanya dijumpai di dalam kandang di kebun binatang. Dalam banyak kasus di savana Afrika yang bersifat pulau, kepunahan jenis endemik berkorelasi postif dengan proses kepunahan seluruh ekosistem tersebut (Ewusie, 1990). Karena itu penurunan populasi flora dan fauna, misalnya penurunan populasi tuak (Borassus flabelifer) atau penyu sisik ((Eretmochelys imbricata) yang dikonsumsi masyarakat Sabu boleh dipahami bahayanya hanya dari konteks keamanan pangan melainkan juga stabilitasi ekosistem pulau Sabu dalam skala yang lebih luas.
Selain faktor utama di atas, maka faktor lain yang menjadi ko-faktor pendukung keanekaragaman adalah faktor-faktor klimatik dan edafik. Iklim Sabu tampaknya ditandai oleh tipe iklim kering dengan curah hujan tahun berkisar antara 1000 – 1200 mm/tahun. Dengan suhu rata-rata 30.5 0C dan lama penyinaran sampai 11.5 jam per hari maka evporasi dan pengoksidasian tanah merupakan fenomena normal. Robert Riwu Kaho (2000) mencatat bahwa di bagian utara Pulau Sabu tanah lebih basah dan terdapat beberapa sumber mata air yang besar tetapi di bagian selatan Pulau Sabu tidak. Namun demikian, keadaan tanah secara umum ditandai oleh tanah-tanah berkapur (kartz) yang sulit menyimpan air dan berbukit-bukit yang memudahkan erosi. Ketinggian (altitude) tertinggi sekitar 250-500 m dpl yang menyebabkan tidak ada sumber hujan yang terjadi secar orografis. Singkat kata kondisi klimatik dan edafik Pulau Sabu kurang kondusif bagi perkembangan ekosistem yang stabil. Schimdt dan Schmidt (2000) memperingatkan bahwa perilaku wilderness merupakan fenomena integral dalam perilaku organisme endemik.
Bagaimana seharusnya Pulau Sabu dibangun dalam Perspektif Ekologi
Secara ekologis, masalah keterisoliran ekologi dapat diatasi dengan jalan meningkatkan arus informasi dan meningkatkan daya dukung lingkungan. Oleh karena itu, strtegi eklogi yang biasanya dimiliki oleh organisme ketika menghadapi cekaman lingkuhngan perlu ditiru, yaitu teknik menghindar (avoidance), ameliorasi (meelakukan pengubahsuaian) dan adapatasi. Dengan memperhatikan kondisi ekologi di atas maka beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam membangun Pulau Sabu, yaitu :
1. Membangun dalam pola pemberdayaan masyarakat secara mandiri (community-based-development-program). Dalam pola ini maka ketahanan masyarakat terhadap berbagai pola perubahan lingkungan dapat ditingkatkan. Untuk itu, revitalisasi dan reaktualisasi kearifan lokal perlu diupayakan. Pola ini merupakan implimentasi prinsip adaptasi karena semua kearifan lokal pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang terbentuk dalam jangka waktu yang sangat lama dan hal itu menunjukkan potensi daya adaptasi.
2. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengunaan sumberdaya alam. Dalam kerangka ini maka pola-pola rehabilitasi, konservasi, daur ulang, budidaya terhadap sumber-sumberdaya potensial dan pendidikan bagi pengguna (user) perlu dikerjakan. Pola ini merupakan implimentasi prinsip penghindaran.
3. Open communication berupa teknik CIS (creativity, integrity dan sustainability) merupakan pilihan rasional. Filosofi dalam sistem ini adalah keterbukaan. Termasuk dalam cara ini adalah perbaikan terhadap infrastruktur seperti pelabuhan laut, lapangan udara, jalan-jalan yang menembus daerah-daerah sulit, sarana komunikasi seperti radio, telefon dan lain-lain. Pengembangan sektor pariwisata juga merupakan salah satu bentuk imlementasi sistem ini. Satu usulan yang terkait dengan model CIS adalah pemberdayaan sumber-sumber kapital yang berasal dari orang Sabu yang tidak tinggal di Sabu dan bersebaran dimana-mana. Pola ini merupakan implimentasi prinsip gabungan antara ameliorasi dan adaptasi.
Kepustakaan
Ewusie, Y.J. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Ganesha ITB, Bandung
McNaughton, S.J., dan L.L. Wolf. 1990. Ekologi Umum. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.
Riwu Kaho, R. 2000. Orang Sabu dan Budayanya. GMIT, Kupang
Smith, R.L., and T.M. Smith. 2000. Elements of Ecology. Community Science Publising, San Fransisco, CA.
Soemarwoto, O. 1992. Indonesia dalam Kancah Isu-Isu Lingkungan Global. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar