Oleh. Troy Makatita
Sebuah perjudian besar tengah terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Potensi mangan yang terkandung dalam perut bumi NTT berpotensi mendatangkan kenikmatan jangka pendek tapi bisa berbuah kesengsaraan jangka panjang yang menjurus permanen bagi rakyat setempat. Karena itu, pemerintah provinsi dan kabupaten di NTT perlu menata ulang dan melakukan kajian yang sangat mendalam sebelum memutuskan untuk melakukan eksploitasi mangan.
Berbagai suara kritis tentang dampak buruk pertambangan patut didengar agar NTT tidak terus menerus diplesetkan sebagai daerah yang punya “Nasib Tidak Tentu”, sehingga hanya bisa pasrah dan berharap “Nanti Tuhan Tolong”. Para penentu kebijakan harus satu bahasa mau dibawa ke mana potensi tambang mangan NTT yang katanya potensial dan berkualitas.
Fakta hari ini semua pakar lingkungan hidup dunia sepakat bahwa hampir semua pertambangan yang dipraktekkan di dunia merupakan kutukan yang berkelanjutan bagi masyarakat luas. Dari sisi lingkungan hidup, kegiatan pertambangan dengan teknologi secanggih apa pun tetap menyisakan kerusakan lingkungan yang perlu waktu berabad-abad untuk pulih.
Dari sisi ekonomi, pertambangan hanya memperkaya segelintir orang tapi menyengsarakan begitu banyak orang, termasuk warga sekitar tambang. Contoh nyata bisa dilihat di Bangka-Belitung dan Papua. Potensi tambang dua daerah ini sudah puluhan tahun dieksploitasi habis-habisan, tapi rakyat kedua daerah tidak kunjung sejahtera. Hingga hari ini kemiskinan masih menjadi sahabat karib mayoritas masyarakat di sana.
Sejumlah literatur pun dengan tegas menyebutkan bahwa tidak ada satu pun masyarakat di daerah pertambangan di dunia ini yang menjadi lebih sejahtera setelah potensi tambang daerah mereka dieksploitasi. Masyarakat sekitar tambang umumnya tetap miskin. Yang kaya dan menikmati hanya segelintir orang, yang ironisnya adalah mereka yang bukan penduduk setempat. Bahkan dalam kasus Indonesia, yang lebih banyak menikmati justru bangsa lain. Sungguh menyedihkan.
Lebih parah lagi, di tengah kemiskinan tersebut masyarakat sekitar tambang masih mendapat “warisan” berupa lahan rusak bekas tambang yang semula bisa saja merupakan lahan perkebunan dan pertanian, serta kawasan hutan.
Dalam jangka panjang, pertambangan adalah penyumbang terbesar lahan sangat kritis yang susah dikembalikan lagi sesuai fungsi awalnya. Terjadi pula pencemaran baik tanah, air maupun udara. Belum lagi ancaman terjadinya banjir, longsor, dan lenyapnya sebagian keanekaragaman hayati. Dengan kondisi seperti ini jelas kemiskinan akan menjadi permanen di daerah bekas tambang.
Semua fakta itu harus menjadi bahan kajian bagi pemerintah dan masyarakat NTT sebelum menjadikan mangan sebagai komoditas unggulan. Apalagi hasil sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh sebuah LSM di Belu, NTT baru-baru ini, menyebutkan bahwa pertambangan mangan di NTT hanya mempunyai empat poin positif sementara yang negatif mencapai 23 poin. Secara umum hasil FGD ini selaras dengan literatur soal dampak pertambangan yang ada selama ini.
Kita melihat bahwa sejauh ini penanganan potensi mangan di NTT dilakukan secara serampangan. Mangan yang tersebar di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, dan Manggarai dieksploitasi tanpa ada standar lingkungan sama sekali. Jangan bicara amdal, karena perusahaan-perusahaan yang punya izin tambang pun hanya asal gali tanpa memikirkan dampak terhadap lingkungan.
Pemerintah provinsi dan daerah terkesan tutup mata dengan pola penambangan yang tidak memperdulikan kelestarian lingkungan itu. Tak perlu heran bila aksi tambang secara ilegal menjadi pemandangan sehari-hari. Rakyat seolah difasilitasi untuk menggali mangan secara liar dan meninggalkan kegiatan bertani dan beternak yang selama ini menjadi sandaran hidup mereka. Rakyat dibiarkan terbuai dengan kenikmatan sesaat dengan menjual mangan seharga Rp 400 per kilogram.
Semua itu terjadi karena pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten di NTT belum satu bahasa soal mangan. Hal ini terlihat jelas dari munculnya perda-perda yang saling bertentangan satu sama lain. Ada yang melarang, ada pula yang mengizinkan penambangan mangan. Ketidaktegasan pemerintah provinsi membuat masing-masing daerah mengambil sikap sendiri-sendiri.
Pemerintah beberapa kali sempat menyatakan dukungannya terhadap pertambangan mangan yang ramah lingkungan, tapi seperti apa ramahnya tidak jelas pada tataran implementasi. Yang pasti, laporan dari lapangan menyebutkan korban mangan terus berjatuhan. Jumlah yang tewas ditimbun galian, baik yang resmi tercatat maupun tidak, terus bertambah. Kubangan-kubangan bekas galian mangan makin banyak menghiasi lahan-lahan pertanian dan peternakan di daratan Timor.
Sebelum terlambat, benahilah penambangan mangan ini. Jangan berjudi dengan mangan. Bila jelas-jelas lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya, lebih baik stop total penambangan mangan di NTT. Masih banyak potensi alam yang bisa didayagunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Karena itu, sebaiknya NTT fokus pada potensi yang lebih menjanjikan kelestarian alam. Niat menjadikan NTT sebagai provinsi ternak, misalnya, patut ditindaklanjuti dengan program-program konkret di lapangan. Merelakan peternak beralih menjadi penggali batu mangan dan membiarkan lahan pengembalaan ternak berubah menjadi kubangan bekas galian, jelas bertentangan dengan semangat menjadikan NTT sebagai gudang ternak nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar